Load more

Pengendalian dan Evaluasi Dakwah

a. Pengendalian Pelaksanaan Dakwah.

Pengendalian merupakan salah satu fungsi manajemen, yang dibutuhkan untuk menjamin agar semua keputusan, rencana dan pelaksanaan kegiatan mencapai tujuan dengan hasil yang baik dan efisien.[1]

1. Syarat-syarat dan Jenis Pengendalian

Robert J. Mockler dalam Munir dan Wahyu Ilahi mengemukakan bahwa elemen-elemen dari proses pengendalian adalah suatu tindakan sistematis untuk menetapkan sebuah standar prestasi kerja dengan tujuan perncanaan, untuk mendesain sebuah sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan prestasi yang sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk menetapkan apakah ada deviasi serta untuk mengukur signifikansinya serta mengambil tindakan yang diperlukan[2]

Untuk maksud tersebut diperlukan pengendalian efektif. Adapun syarat-syarat pengendalian yang efektif: menurut Ibnu Syamsi bahwa dalam rangka pengendalian harus direncanakan mengenai apa, mengapa, siapa, di mana, kapan dan bagaimana pengendalian itu akan dilaksanakan.

1. Pengendalian dilakukan sungguh-sungguh tanpa ragu-ragu.

2. Harus mencerminkan kebutuhan karyawan yang perlu diawasi

3. Harus segera melaporkan hasil pengendaliannya

4. Pengendalian harus bersifat fleksibel namun tetap tegas

5. Selalu mengikuti pola organisasinya

6. Dilakuakan seefisien mungkin mungkin, dan mempertimbangkan segi ekonominya antara hasil dan pengorbanannya

7. Harus diperbaiki dengan perbaikannya

Lebih lanjut Ibnu Syam bahwa menyatakan, bahwa pengendalian merupakan proses untuk membandingkan antara pelaksanaan kegiatan dan standarnya; mengidentifikasi dan mengadakan analisis terhadap ke mungkinan penyimpannya, menemukan penyebabnya kemudian membetulkannya. Dari uraian tersebut kemudian diketahui unsur-unsur pengendalian, yaitu: (1) pembandingan pelaksanaan dan standarnya; (2) mengukur pelaksanaa dengan standarnya; (3) mengadakan identifikasi kemungkianan penyimpangannya dan mengadakan anlisis tethadap ,penyebabnya, dan (4) membetulkan penyimpanan apabila ditemukannya.[3]

Sedangkan proses pengendalian menurut Weludjeng adalah:

1. Menentukan standar

Pada pronsipnya standar adalah criteria hasil kerja. Standar adalah hal-hal yang dipilih dari keseluruhan program perencanaan dimana pengukuran hasil kerja dilakukan sehingga manager dapat menrima sinyal tentang hal-hal tertentu yang terjadim dan tidak harus memperhatikan setiap langkah-langkah dalam menjalankan perencanaan tersebut.

Makin kecil kadar teknis auatu pekerjaan, makin sulit untuk menentukan standar. Misalnya standar untuk jumlah produksi karyawan perhari lebih mudah ditentukan daripada standar untuk pekerjaan manajer keuangan.

Standar yang baik adalagh standar yang dapat diukur (verifiable objectives).

2. Pengukuran hasil kerja

Jika standar yang ditentukan telah sesuai, maka pengukuran atau penilaian hasil kerja akan mudah dilakukan

3. Tindakan koreksi terhadap perbedaan antara standar dengan aktualnya.

Jika hasil kerja diukur secara tepat, maka akan lebih mudah melakukan tindakan koreksi jika ada perbedaan antara standard an aktualnya.

Dalam menetapkan standar, harus diperhatikan factor- factor penting (kritis) dalam mengevaluasi hasil kerja. Beberapa jenis standar sebagai berikut:

a. Standar fisik (physical standard), bias berupa kuantitas seperti contohnya: jam kerja per unit output, unit produksi per jam mesin; atau juga berupa kualitas, seperti ketebalan besi, daya tahan suatu barang.

b. Standar biaya (cost standard), misalnya: boaya produksi per unit, biaya tenaga kerja per jam.

c. Standar modal (capital standard), berhubungan dengan modal yang ditanamkan didalam perusahaan (bukan berhubungan dengan baiay operasional perusahaan). Contohnya: return on investment (pendapatan bersih dibagi dengan besarnya investasi).

d. Standar pendapatan (revenue standard), misalnya total penjualan pertahun.

e. Standar program (program standard), jika hasil kerja berhubungan dengan suatu program yang diadakan oleh perusahaan.

f. Goals as standard (tujuan sebagai standard), baik itu bertujuan kuantitatif maupun kualitatif.

Tindakan koreksi ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu, tindakan perbaikan segera dan tindakan perbaikan mendasar. Tindakan perbaikan segera adalah memperbaiki suatu kegiatan segera untuk mengembalikan kinerja pada jalurnya. Sedangkan tindakan perbaikan mendasar adalah menentukan bagaimana dan mengapa kinerja menyimpang dan mengoreksi sumber penyimpangan tadi.[4]

Menurut Syamsi, pengendalian dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu:

1. Pengendalian administrative terhadap tingkah laku, system, dan cara berpikir dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi.

2. Pengendalian operatif (operatife control) yaitu pengendalian terhadap cara kerja, teknik pengerjaan, alat yang digunakan, waktu yang dipakainya, jumlah karyawan yang dilibatkan, apakah sudah tepat atau belum.[5]

Ada beberapa jenis pengendalian Menurut weludjeng yaitu:

1. Feedforward control

Disebut juga preliminary control, precontrol, or steering control. Control ini dilakukan pada input-input untuk memastikan bahwa input tersebut memenuhi standar yang dibutuhkan dalam proses transformasi.

2. Concurrent control

Disebut juga screening control. Pengendalian ini dilakukan terhadap proses transformasi input menjadi output untuk memastikan bahwa proses tersebut memenuhi standar organisasi.

3. Feedback control

Disebut juga post action control atau output control.pengendalian ini dilakukan setelah barang atau jasa organisasi telah selesai doproses.

4. Multiple control

System yang menggunakan dua atau lebih metode pengendalian yang disebut diatas.[6]

Terdapat beberapa karakteristik system pengendalian yang efektif.

1. Future-orinted

Sistem pengendalian yang dikaukan perlu orientasi pada masa yang akan datang. Untuk itu pengendalan yang dilakkan harusdisesuaikan dengan rencana dan memungkinkan adanya tanggung jawab pada pihak-pihak lain.

2. Multidimensional

Sistem pengendalian yang baik dan evktif perlu didukung dengan beberapa alat pengendalian, artinya pengendalian yang efektif tidak hanya di sarkan pada satu alat saja.

3. Ekonomis

Sistem pengendalian harus menghitungkan biaya yang dikeluarkan. Atau dengan kata lain manfaat yang diperoleh harus seimbang degan biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian itu.

4. Data yang akurat.

Data yang diolah menjadi informasi harus akurat, hal ini disebabkan pengendalian yang baik memerlujkan informasi yang akurat. Informasi yang tidak akurat akan menimbulkan masalah baru dalam pengendalian.

5. Realitas atau dapat dipercaya

Sistem pengendalian yang digunakan harus realitas, artinya mampu atau muda untuk dilaksanakan.

6. Tepat waktu

7. Informasi harus tersedia setiap saat pada waktu informasi tersebut dibutuhkan, hal ini guna memperlancar proses pengendalian.

8. Dapat dimonitor.

Pengendalian yang baik harus dirancang sesuai karakteristik orang yang akan melakkan pengawasan tersebut. Sehingga hal ini akan memudahkan proses pengendalian itu sendiri dan akan diperoleh informasi yang baik guna peningkatan efektivitas organisasi.

9. Dapat diterima oleh anggota organisasi

Sistem pengendalian yang baik harus dapat menhasilkan informasi yang mengarah pada perbaikan. Informasi tersebut harus sampai pada pihak yang bertanggung jawabsehingga dapat diharapkan adanya perbaikan atas kekurangannya.

10. Fleksibel

Sistem pengendalian yang harus mampu memprediksi kemungkinan-kemingkinan yang akan terjadi. Untuk itu system pengendalian harus dirancang yang selues mungkin sehingga dapat menyesuaikan situasi dan kondisi.[7]

2. Unsur-unsur, Proses Pengendalian Dakwah dan Tujuannya

Pada organisasi dakwah pengendalian dapat dimaksudkan sebagai sebuah kegiatan mengukur penyimpangan dari prestasi yang direncanakan dan menggerakkan tindakan korektif. Menurut Munir dan Wahyu bahwa ada beberpa unsur dasar pengendalian Meliputi:
  1. Sebuah standar spesifikasi prestasi yang diharapkan. Ini dapat sebagai sebuah anggaran, sebuah logaritma keputusan, dan sebagainya.
  2. Sebuah pengukuran proses rill.
  3. Sebuah laporan penyimpangan pada unit pengendali.
  4. Seperangkat tindakan yang dapat dilakukan oleh unit pengendali untuk mengubah prestasi mendatang jika prestasi sekarang memuaskan, yaitu seperangkat aturan keputusan untuk memilih tanggapan yang layak.
  5. Dalam hal tindakan unit pengendali gagal membawa prestasi nyata yang kurang memuaskan ke arah yang diharapkan, sehingga ada sebuah metode tingkat perencanaan atau pengendalian lebih tinggi untuk mengubah satu atau beberapa keadaan yang tidak kondusif.[8]

Pelaksanaan pengendalian operasi dakwah dilakukan terintegrasi dari suatu organisasi dakwah, dan dalam pengendalian ini selalu disertakan upaya-uapaya perbaikan yang berkelanjutan.

Sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an. Lihat, QS. Al-mujadilah:7

Terjemahnya:

(7) Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Pengendalian manajemen dakwah lebih bersifat komprehensif dimana lebih mengarah pada upaya yang dilakukan manajemen agar tujuan organisasi tercapai. Dalam hal ini unsur-unsur yang terkait, meliputi detector, selector, efektor, dan komunikator. Unsur-unsur tersebut satu sama lain akan saling berkaitan yang akan membentuk suatu jalinan proses kerja. Bagi organisasi dakwah dalam melakukan pengendalian perlu adanya sebuah acuan normative yang berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam konteks ini, Islam melakukan koreksi terhadap kekeliruan berdasarkan atas:

1. Tawa shau bi al-haqqi (saling menasihati atas dasar kebenaran dan norma yang jelas). Tidak mungkin sebuah pengendalian berlangsung dengan baik tanpa norma yang baik. Norma dan etika itu ttidak bersifat individual, melainkan harus disepakati bersama dengan aturan-aturan yang jelas.

2. Tawa shau bi shabri (saling menasihati datas dasar kesabaran). Pada umumnya, seorang manusia saling mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan tawa shau bis shabri atau berwasiat dengan kesabaran. Koreksi yang diberikan tidak cukup sekali, namun harus dilakukan secara berulang-ulang. Dalam konteks inilah pentingnya sebuah kesabaran.

3. Tawa shau bi al-marhamah (saling menasihati atas dasar kasih saying). Tujuan dilakukan pengendalian dan koreksi adalah untuk mencegah seseorang jatuh terjerumus pada suatu yang salah.[9]

Pengendalian juga dimaksudkan untuk membantu para manajer/pemimpin dakwah dalam memonitor perubahan obyek dakwah baik individi maupun kelompok, perubahan lingkungan, dan pengaruhnya terhadap kemajuan organisasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka terasa perlu dikemkakan tujuan pengendalian dakwah. Adapun tujuan utama fungsi pengendalian adalah agar pelaksanaan kegiatan itu sesuai dengan standarnya. Namun kalau dirinci lebih lanjut, maka tujuan pengendalian adalah : (1). Untuk mengetahui apakah pelaksanaannya itu tidak mengalami kesulitan-kesulitan yang berarti. (2) untuk mengatahui apakah pelaksanaannya cukup efisien. (3). Untuk mengetahui penyebabnya apabila terjadi penyimpangan. (4). Untuk mencari pemecahannya, sehingga pelaksanaan dapat sesuai dengan standarnya.[10]

Secara spesifik pengendalian dakwah dibutuhkan untuk:

1. Menciptakan suatu mutu dakwah yang lebih baik, dengan pengendalian dakwah ini dapat ditemukan suatu proses yang salah atau menyimpang dan kemudian dapat dikoreksi. Para da’i diberikan wewenag penuh untuk memeriksa dan memperbaiki tugas mereka. Dari sini program perubahan kerja dapat dilakukan untuk perbaikan aktivitas dakwah yang lebih efektif. Disamping itu, fungsi pengendalian ini juga membantu para pemimpin dakwah dalam menganalisis tantangan, kesempatan, serta mendeteksi suatu perubahan yang memengaruhi proses jalannya dakwah dalam sebuah organisasi.

2. Dapat menciptakan sebuah siklus yang lebih cepat. Dari sini dapat diketahui permintaan atau keinginan dari mad’u untuk kemudian didesain sehingga effisiensi dapat tercapai.

3. Untuk mempermudah pendelegasian da’i dan kerja tim. Tugas dakwah merupakan suatu kewajiban bersama dalam organisasi dakwah, oleh karenanya diperlukan suatu kerja sama yang solid dalam mencapai tujuan bersama. Pada proses pengendalian atau penilaian ini dimaksudkan untuk mempermudah penempatan para da’i dilapangan dengan dilakukan penilaian terhadap prestasi kerja mereka. Selanjutnya, tugas manajer dakwah adalah sebagai pemberi wewenang yang kemudian diteruskan kepada para anggotanya dan selanjutnya diaplikasikan kepada seluruh proses rencana kerja yang dijadikan sebagai standar dakwah.[11]

Dalam kaitan tersebut Allah berfirman. QS. Asy Syuura (42): 48
Terjemahnya:

48. Jika mereka berpaling Maka kami tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari kami dia bergembira ria Karena rahmat itu. dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) Karena Sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).

b. Evaluasi Pelaksanaan Dakwah

Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam mengelola sebuah organisasi dakwah adalah dengan melakukan langkah evaluasi. Evaluasi dakwah ini dilaksanakan dengan tujuan memberikan penilaian kepada orang yang dinilai juga kepada pemimpin dakwah tentang informasi mengenai kenerhasilan dilapangan. Oleh karena itu, pembahasan terakhir tentang komponen penting dakwah adalah evaluasi, atau penilaian terhadap apa yang telah dilakukan, apa yang sedang dilakukan dan perencanaan untuk tindakan yang akan dilakukan oleh dakwah. Semua itu memerlukan penilaian, agar dapat mencapai sasaran yang tepat.

Menurut Munir dan Wahyu, bahwa evaluasi dakwah adalah meningkatkan pengertian manajerial dakwah dalam sebuah program formal yang mendorong para manajer atau pemimpin dakwah untuk mengamati perialku anggotanya, lewat pengamatan yang lebih mendalam yang dapat dihasilkan melalui saling pengertian diantara kedua bela pihak.[12]

Dengan demikian pelaksanaan evaluasi menjadi hal sangat penting karena dapat menjamin keselamatan pelaksanaan dan perjalanan dakwah. Di samping itu, evaluasi juga penting untuk mengetahui positif dan negativenya pelakasanaan, sehingga memanfaatkan yang positif dan meninggalkan yang negative.

Secara spesifik tujuan dari evaluasi dakwah itu adalah:

a. Untuk mengidentifikasi sumber daya da’i yang potensial dalam sebuah spesifikasi pekerjaan manajerial.

b. Untuk menentukan kebutuhan pelatihan dan pengambangan bagi individu dan kelompok dalam sebuah lembaga atau organisasi.

c. Untuk mengidentifikasi para anggota yang akan dpromosikan dalam penempatan posisi tertentu.

Adapun hasil dari evaluasi itu diperoleh dari:
a. Motivasi;
b. Promosi;
c. Mutasi atau pemberhentian anggota;
d. Dukungan financial;
e. Kesadaran yang meningkat darii tugas dan persoalan bawahan;
f. Pengertian bawahan yang meningkat mengenai pandangan manajerial tentang hasil karya;
g. Mengidentifikasi kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan;
h. Mengevaluasi efektivitas dari keputusan seleksi dan penempatan;
i. Pemindahan;
j. Perencanaan sumber daya manusia;
k. Peringantan dan hukuman.[13]
 
Sebagai agen perubahan dan pembentukan masyarakat dan manusia, maka dakwah perlu selalu mengadakan adjustmen. Tentu masyarakat akan mempertanyakan fungsi dakwah itu sendiri dalam mencapai tujuannya. Sebagai agen perubahan masyarakat, memang dakwah bisa dilihat dari bebrapa seginya:
  1. Dari segi praktisnya, maka dakwah adalah memujukan segala bidang tingkah lakunya, maju dalam hal ini adalah maju yang positif dan yang bersifat baik dan yang sehat, yakni bertujuan menciptakan masyarakat yang “amanu-wa’amilus sha-lkhi-ti” aktivitas manusia, keperluan manusia dan keinginan manusia diarahkan oleh dakwah untuk mencapai sasaran yang lebih maju tersebut. Dakwah akan memberikkan tuntunan hidup yang lebih praktis dan religious.
  2. dari segi natur atau keadaan manusia sendiri, maka dakwah bukan akan merubah natur manusia, akan tetapi justru dakwah akan mengembalikan manusia kepada naturnya yang benar, menurut kata hati nuraninya (consciencenya), menuirut fitrahnya. Disinilah keadaan manusia atau fitrah manusia selalu menjadi perhatian utama dakwah. Apa disebut sebagai amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah sesuai dengan fitrah hati nurani manusia sendiri. Dengan demikian dakwah sebenarnya bukan bebuat yang akan berlawanan dengan hati nurani manusia. Dakwah akan memberikan nilai untuk diri dan milieu manusia, yang tidak bertentangan, akan tetapi justru untuk mengembangkan apa yang telah ada.
  3. Dari segi perenannya sebagai pembaharu masyarakat, maka dakwah sebenarnya selalu akan memberiakan angin baru dan pedoman yang akan lebih menguntungkan manusia. Kultur dan sivilisasi manusia pasti akan bergerak ke arah yang lebih, maka dalam perjalanannya kea rah yang serba lebih daripada yang sudah-sudah itu, da’wah akan selalu memberikan bimbingan, bagaimanakah manusia seharusnya bertindak dan bersikap dalam arah kemajuan itu, dakwah akan memberikan pengarahan terhadap setiap achievement kemajuan manusia, agar manusia menuju kea rah yang lebihkonstruiktif, bukan sebaliknya yang destruktif, sebab agama tidak menyukai hal-hal yang serba merusak.
  4. Dari segi kehidupan manusia sendiri dan tujuan hidup manusia, maka dakwah akan memberikan filter atau alat penyaring , akan memberikan arah dan selalil akan meluruskan arah hidup (adjustmen ta’di-I) manusia, sewaktru-waktu terjadi penyelewangan dalam kehidupan manusia itu.
  5. Dari segi diri manusia, terutama segi psychisnya, maka dakwah dapat memberikan “pengembangan psichys yang lebih baik”, dengan kenyataan, bahwa dakwah akan selalu memberikan motivasi terhadap perbuatan baik dan mengadakan penekanan terhadap setiap perbuatan yang negative, yang keji dan tidak baik.
  6. Dari segi keinganan manusia, yang selalu berkembang yang sering membahayakan manusia, maka dakwah memberikan “pengetahuan mana yang harus dikerjakan dan mana yang harusa ditinggalkan” dalam memenuhi kepuasan keinginan manusia sebeb tidak semua yang disenangi manusia itu baik, dan sebaliknya tidak semua yang tidak disenangi manusia itu buiruk. Maka essensi ajaran akan diberiakan kepada manusia bukan dengan ukuran kesenangan atau ketidak senangan manusia, tetapi berdasar pengetahuan “wahyu” .yang berkedudukan lebih tinggi dari pengetahuan manusia tentang manusia sendiri.
  7. Dari segi perlunya hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maka sebenarnya dakwah akan merupakan missi Ilahiyah, yang mengajarkan moralitas, etika dan pengembangan ruhani manusia, menempatkan kedudukan manusia dalam kedudukan yang benar, sebagai hamba Allah SWT dan sebagai mahluk yang tertinggi nilainya. Sehingga tauhid yang murni,menempatkan manusia sebagai manusia, tuhan dalam kedudukannya sebagai Tuhan Rabbul alamin, dan alam sebagai alam, tidak terbali-balik, misalnya menuhankan manusia atau benda, atau memanusiakan Tuhan, atau meng-alamkan ketuhanan, atau menuhankan alam dan sebagainya.[14]

Oleh karena begitu luasnya arena yang harus ditelusuri dan dilalui oleh kegiatan dakwah dan semuanya berada sekitar manusia, artinya manusia menjadi sentral, baik subyek maupun obyek dalam kegiatan dakwah. Dalam proses perjalanannya itu, aktivitas dakwah selalu perlu mengadakan penilaian tehadap semua komponen yang menyertainyanya, yang demikian itu harus dievaluasi secara terus menerus, untuk menilai apakah materi telah sesuai dan baik, cara penyajian apakah telah mengena, manajemen dan organisasinya dan lain-lain.

Menurut Syafaat Habib, bahwa sebagai banguanan yang kokoh untuk masyarakat, maka dakwah selalu harus menginventariasasi seluruh kekayaan yang dimilikinya, berupa ajaran, sistematika, sejarah, kepustakaan dan semua yang mendukunf komponen dakwah, dakwah harus selalu mengevaluasi “kekuatan dirinya itu” dan seluruh kekayaan yang menjadikan dakwah bias berpengaruh dan berperan penting dalam pembentukan masyarakat yang tinggin mutunya. Apabila hasil dakwah adalah masyarakat sebagimana adanya sekarang ini di sekitar manusia, maka perlul dipertanyakan dan dinilai apakah hasil yang demikian sudah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh dakwah itu sendiri. Misalnya, apakah sudah dapat dinamakan dakwah masyarakat itu berhasil, apakah masih banyak terdapat dalam masyarakat ioslam anggiota-anggota yang buta huruf, yang masih bodoh, yang masih kotor, yang msih belum tahu kemajuan, yang belum terpelajar dan lain-lainhal yang masih negative. Tentu itu memerlukan eval;uasi yang cermat, sehingga dakwah islamiah perlu merubah diri dengan cara-cara yang baru, membuat langkah baru, misalnya melalui pendidikan yang lebih intensif, melalui media massa yang lebih sering, melalui perbaikan organisasi dan manajemen dakwah, melalui bantuan yang diminta dari pemrintah atau kekuatan-klekuatan keuangan yang ada dalam masyarakat.[15]

Menurut Asep muhiddin dan Agus, bahwa asalah terakhir adalah mengevaluasi kegiatan dakwah. Control atau evaluasi dakwah yang baik berhubungan dengan evaluasi secara cermat, general, melihat ulang fungsi-fungsi manajemen dakwah yang lain.

Secara sederhana, pengawasan atau control dakwah dapat didefenisikan sebagai proses untuk menjamin tujuan dakwah yang telah ditetapka sebelumnya dapat tecapai dengan baik.[16]

Evaluasi juga diperlukan untuk merencanakan hasil dimasa depan yang lebih baik sebagai input dakwah, berupa keuntungan-keuntungan dakwah yakni terbentuknya manusia dan masyarakat yang lebih meningkat daripada hasil yang dicapai sebel;umnya. Mempertanyakan secara evaluasi apakh saran-sarana dakwah sekarang ini sesuai dengan sasaran yang akan dicapai, perlu diadakan, mengingat misalnya hingga sekarang ini banyak masjid yang perlu dibenahi oraganisasi dan cara bekerjanya, peralatannya, petugasnya dan pengelolaan operasionalnya. Diperlukan pula mengevaluasi langgar, madrasah. Lembaga dakwah, yayasan dakwah, pondok pesantren dalam menghadapi zaman yang makin maju, dan pertumbuhan masyarakat yang makin multi kompleks sifatnya.[17]
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Ibnu Syamsi, op. cit, h. 148.

[2] M. Munir dan wahyu Ilahi, op. cit, h. 170

[3] Ibnu Syamsi, op. cit, h. 148,149,150

[4] Sri Wiludjeng, op. cit h. 177-178

[5]Ibnu Syamsi, op. cit, h. 149

[6]Sri wilujeng, op. cit, h. 177-179

[7] Ibid, h. 180-181

[8] M. Munir dan Wahyu Ilahi, op. cit, h. 167-168

[9] Munir dan Wahyu, op. cit, h. 171-172

[10] Ibnu Syamsi, op. cit, h. 149

[11]Munir Dan Wahyu Ilahi, op. cit, h.177-178

[12]Munir dan Wahyi Ilahi, op. cit, h. 183

[13] Ibid, h. 184

[14] Syafaat Habib, Op.cit, h.228-229

[15] Ibid, h.230

[16] Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safeii, op. cit, h.136

[17] Syafaat Habib, op. cit, h. 231