Sumber daya
manusia merupakan aset organisasi yang sangat vital karena itu keberadaannya
dalam organisasi tidak bisa digantikan oleh sumber daya lainnya. Betapapun
modern teknologi yang digunakan atau seberapa banyak dana yang disiapkan, namun
tanpa dukungan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan profesional,
semuanya menjadi tidak bermakna.[1]
Tidak dapat disangkal bahwa tenaga manusia atau
sumber daya insani merupakan sumber terpenting yang dimiliki oleh suatu organisasi.
Karena sifatnya sebagai sumber yang terpenting, logis apabila dalam rangka
peningkatan efesiensi kerja, perhatian utama ditujukan pula kepada sumber ini,
sorotan perhatian tidak boleh hanya
ditujukan kepada pemanafaatannya secara maksimal, akan tetapi juga
pengembangannya, perlakuannya dan estafet penggantiannya.[2]
Modal yang dimiliki oleh organisasi, hanya akan semakin besar dan
berkembanag apabila dikelola secara tepat. Pengolaan yang tepat hanya mungkin
dilakukan oleh manusia yang tidak saja
ahli dan trampil pada bidangnya masing-masing, akan tetapi juga memenuhi
berbagai persyaratan non teknikal lainnya seperti loyalitas, disiplin dan
organisasional, dedikasi, kesediaan membawakan kepentingan peribadi kepada
kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingn bersama antara lain tercermin
dalam kepentingan kelompok dan kepentingan organisasai. Mesin yang paling
canggih sekalipun hanya merupakan tumpukan benda mati apabila tidak dipergunakan
atau dijalankan oleh manusia, suatu
mesin yang otomatik hanya berfungsi setelah pada mulanya dihidupkan oleh manusia dan hanya bekerja berdasarkan intruksi yang diberikan oleh manusia.[3]
Walaupun
demikian, sumber daya manusia tidak akan menjadi lebih unggul atau aset yang
menjadi faktor penentu keberhasilan
organisasi tampa digerakkan agar lebih berdaya guna.
Menurut
Sondang P. Siagian, bahwa menggerakan sumber daya manusia salah satu hal yang sulit
untuk dilaksanakan, kesulitan tersebut disebabkan oleh lima faktor yaitu:
1. Dengan berbagai kemajuan yang
telah dicapai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia
seperti sejarah, ilmu politik. Ilmu ekonomi, ilmu sosiologi, antropologi dan
psikologi dalam usaha akumulasi teori tentang seluk beluk manusia, ia tetap
merupakan makhluk yang masih penuh dengan misteri sehingga dapat dikatakan
bahawa lebih banyak yang belum diketahui ketimbang yang sudah terungkap tentang
manusia.
2. Dari semua sumber yang
dimiliki oleh suatu organisasi hanya man usialah yang mempunyai harkat dan
martabat yang tidak hanya perlu diakui, akan tetapi juga dihargai dan bahkan
harus dijunjung tinggi. Penghargaan dan pengakuan akan harkat dan martabat
tersebut memang harus dubarengi oleh penunaian kewajiban olehh para anggota
organisasi yang bersangkutan.
3. Semua sumber daya dan dana
yang terdapat dalam organisasi pada dirinya hanya merupakan benda mati yang
secara interinsik tidak mempunyai nilai apa-apa. Berbagai sumber tersebut hanya
mempunyai arti dalam usaha pencapaian tujuan apabila dimobilisasikan dan
dimanfaatkan oleh manusia secara tepat .
4. Sumber daya manusia merupakan
modal terpenting yang mungkin dimiliki oleh organisasi dan merupakan unsur pembangunan
organisasi yang sangat tangguh apabila digerakkan secara tepat.
5. Sebaliknya sumber daya
manusia pulalah yang mungkin menjadi perusak dalam organisasi apabila tidak
diperlakukan sebagai insan dengan harga diri yang tinggi. [4]
Menurut
Soekidjo Notoadmodjo bahwa tujuan dari manajemen suber daya manusia secara
operasional adalah:
1. Tujuan masyarakat (society objective)
Diorientasikan
untuk bertanggung jawab secara social, dalam hal ini pemenuhan kebutuhan serta
tantangan yang timbul di masyarakat. Suatu orientasi yang tumbuh dan berkembang
ditengah-tengah masyarakat, diharapkan membawa manfaat bagi masyarakat. Oleh
karena, suatu organisasi memiliki tnggung jawab dalam mengelola sumber daya
manusia agar tidak memiliki dampak negative di masyarakat.
2. Tujuan organisasi (organization
objective)
Diorientadsikan
untuk mengenal bahwa sumber daya manusia
itu ada (exsist), maka perlu memberikan kontribusi terhadap pendaya
gunaan organisasi secara keseluruhan. Karena manajemen sumber daya manusia
suatu tujuan dan akhir suatu proses, melainkan suatu perangkat atau alat untuk
membantu tercapainya suatu tujuan organisasi secara keseluruhan. Oleh sebab
itu, unit atau bagian sumber daya manusia
disuatu organisasi diadakan untuk melayani bagian-bagian lain
oraganisasi tersebut.
3. Tujuan fungsi (functional
objective)
Diorientasikan
untuk memelihara (maintain) kontribusi unit bagian lain agar sumber daya
manusia dalam tiap bagian tersebut, melaksanakan tugasnya secara optimal.
Dengan kata lain, bahwa setiap elemen
sumber daya manusia dalam oraganisasi tersebut, menjalankan fungsinya dengan
baik.
4. Tujuan personel (personnel
objective)
Diorientasikan
untuk membantu karyawan satu elemen dalam mencapai tujuan oraganisasi. Tujuan
pribadi atau personal haruslah terpenuhi. Hal itu sudah merupakan motivasi dan
pemeliharaan terhadap karyawan.[5]
Demikian halnya dalam arena dakwah sebagai suatu organisasi atau aktivitas
kemanusiaan yang bertujuan untuk merubah sesuatu situasi ke yang lebih baik,
dalam rangka kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka diperlukan sumber daya
manusia yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya sebagai sebuah organisasi.
Menurut Syafaat Habib bahwa Sarana dakwah karenanya harus
dilengkapi dengan manusia-manusia yang mampu menangani masalah-masalah sosial,
karena arah yang dituju adalah perubahan-perubahan
sosial yang lebih baik, mereka seharusnya memiliki siifat-sifat unggul
manusia:
1. Sebagai “pemimpin”, mempunyai
sifat lebih, ahli dalam bidangnya, bertaqwa , berjiwa patriotis, terlatih dalam
masalah-masalah sekuler maupun masalah agama.
2. Sebagai manusia terkemuka
yang diperlengkapi dengan baik, baik dalam hal ilmu pengetahuan yang luas,
maupun alat-alat dan methode.
3. Sebagai pemuka digaris depan
yang berkekuatan dan mampu memberikan energi kepadda sekitarnya, dengan
pembangunan moralitas dan nilai-nilai kehidupan manusia lainnya.
4. Sebagai “penuntun” yang mampu
meletakkan sesuatu yang “pertama” pada yang “pertama”, menghilangkan keraguan
dalam tingkah laku dan sikap pengikutnya dan mampu memberikan bimbingan
ketegasan.
5. Sebagai aturan yang selalu
menekankan nilai-nilai budi pekerti yangtinggi atau makarimul akhlak.
6. Sebagain sumber yang selalu
dapat menyediakan cara terbaik dalam membina kerja-sama antar ummat manusia,
dengan kemampuan menunjukkan cara-caranya.
7. Sebagai kompas dan
lidstar atau bintang penuntun yang
dinamis bagi khalayak umum. Dan lain-lain sifat unggul yang perlu dimiliki
seorang manusia, hamba tuhan yang baik.[6]
Hal tersebut
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Asep.M dan Agus. bahwa usaha pengembangan sumber daya da’i berkaitan
dengan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya da’i yang meliputi
pemberdayaan da’i dalam pola pikir, wawasan dan keterampilan sebagai berikut:
1. Peningkatan wawasan
intelektual dan kreatifitas da’i dalam keilmuan dan keterampilan yang relefen.
2. Peningkatan wawasan
pengalaman yang spiritual da’i yang direfleksikan dalam kematangan sikap
mental, kewibawaan, dan akhlak al-karima.
3. Peningkatan wawasan tentang
ajaran Islam secara kaffah dan integral.
4. Peningkatan wawasan tentang
kebangsaan, kemasyarakatan dan hubungan intern serta ekstern umat beragama
sehingga tercermin sikap toleran.
5. Peningkatan wawasan global
dan ukhuah islamiah
6. Peningkatan wawasan
integritas, persatuan, dan kesatuan (wahdah
al-ummah)
7. Peningkatan wawasan tentang
peta wilayah dakwah regional, nasional, dan internasional.
8. Peningkatan wawasan tentang
kepemimpinan dalam membangun masyarakat.[7]
Para
muballigh perlu ditingkatkan kualitasnya, peran dan fungsi mereka pada masa
sekarang ini semakin berat. Dalam kaitan ini paling kurang terdapat sembilan
hal penting yang harus dilakukan dan diperankan oleh muballigh sebagai berikut:
pertama, para muballigh sebagai
pengawal akhlak (moral) bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa kelangsungan hidup
suatu bangsa ditentukan oleh tinggi rendahnya akhlak (moral) bangsa yang
bersangkutan. Kedua, para muballigh
sebagai penafsir jalan kehidupan umat manusia. Ini artinya, para muballigh pada
dasarnya adalah pekerja-pekerja budaya yang selalul berupaya agar suatu
kebudayaan bekembang mencapai bentuknya yang lebih beradap sesuai dengan
tuntutan zaman.hal ini dapat menyebabkan wajah islamnya tidak utuh. Ketiga, para muballigh sebagai informator dan penerang
masyarakat. Masyarakat amat haus terhadap informasi, petunjuk dan penerangan
dari para muballigh. Informasi, petunjukk dan penerangan disampaikan oleh
muballigh aka lebih diterima oleh masyarakat daripada infformasi, petunjuk dan
penerangan yang disampaikan oleh pihak lain. Namun demikian agar informasi,
petunjuk dan penerangan yang disampaikan itu tidak menyesatkan masyarakat, maka
para muballigh harus melengkapi dirinya dengan data yang akurat dan dapat
dipercaya. Data dan informasi tersebut, biasanya terdapat pada saluran
teknologi informasi seperti internet, faksimile, dan berbagai mass media
lainnya. Untuk itu para muballigh juga harus mampu menggunakan berbagai
peralatan teknologi informasi tersebut, sehingga mampu mengakses berbagai
informasi dari seluruh penjuru dunia. Keempat,
para muballigh sebagai agen perubahan sosial (agent of socialc henge) yang ada didalamnya termasuk melakukan
pembaharuan pemikiran Islam. Munculnya keinginan untuk melakukan pembahaaruan
terhadap ajaran Islam dalm bidang Fikhi dan teologi mesalnya didasari oleh
pertimbangn yang bersifat internal dan eksternal. Kelima, para muballigh berparan dalam mengarahkan pandangan
ke-Islaman masyarakat. Dewasa ini banyak sekali corak pemikiran faham
ke-Islaman di Indonesia, seperti Islam fundamental, Islam teologis-Normatif,
Islam Eksklusif, Islam Rasional, Islam Transformatif, Islam Aktual Islam
Modernis, Islam Kultural serta Islam Inklusif-Pluralis. Seluruh corak pemikiran
Islam tidak keluar dari Islam karena berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Menghadapi berbagai corak pemikiran Islam tersebut cara yang ditempuh adalah
bukan mempertentangkan antara satu dan yang lain nya, atau membenarkan yang
satu dan menyalahkan yang lainnya. Cara yang bijaksana adalah dengan
menunjukkan segi-segi positif dari berbagai corak pemikiran Islam tersebut,
menghubungkan antara satu dan yang lainnya, serta meningkatkan segi-segi yang
tidak sejalan dengan cita-cita islam. Keenam,
para muballigh berperan dalam
mewujudkan cita-cita islam dalam berbagi bidang kehidupan. Dalam bidang sosial,
islam mencita-citakan suatu msyarakat yang egaliter, yaitu masyarakat yang
didasarkan pada prinsip kesetaraan dan kesederajatan. Atas dasar ini kedudukan dan
kehormatan manusia dihadapan tuhan dan manusia lainnya, bukan didasarkan atas
perbedaan suku bangsa, golongan, bahasa, warna kulit, pangkat, keturunan, harta
benda, tempat tinggal dan lain-lain sebagainya, melainkan didasarkan atas
ketakwaan dan darma baktinya kepada masyarakat. Ketujuh, para muballigh berperan dalam menanamkan keimanan dan
ketakwaan dalam arti yang sesungguhnya. Yaitu akan adanya Allah swt sebagai Tuhan yang wajib disembah yang diikuti dengan kesadaran
untuk melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Keimanan dan
ketakwaan yang demikian itu benar-benar tertanam dalam hati dan
terimplementasikan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Keimanan dalam hati
diupayakan berperan seperti polisi rahasia yang selalu mengawasi gerak gerik
perbuatan manusia. Dengan cara demikian ia selalu merasa diawasi oleh Allah,
dan pada akhirnya ia tidak berani melakukan perbuatan yagn dilarang oleh Allah
dan Rasulnya. Kedelapan , para
muballigh berperan sebagai pemimpin masyarakat. Sejarah mencatat bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Jakarta
sejak bernama Sunda Kelapa dan berada di bawah pengaruh Portugis pada tahun1913
hingga berubah menjadi Jakarta pada tanggal 22 Juni 1572 tidak bisa dilepaskan
dari peran para muballigh.[8]
Dengan memperhatikan
peran yang harus dilakukan para muballigh (da’i) tersebut maka terasa perlu
peningkatan kualitas. Hal ini penting dilakukan mengingat peran yang harus
dimainkan para muballigh (da’i) tersebut semakin hari semakin berat, rumit an
penuh tantangan dan rintangan, seirama
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus komunikasi dan
informasi yang begitu dahsyat, membuat perubahan yang juga semakin cepat.
[1] Tjutju
Yuniarsih dan Suwatno, Manajemen
Sumber Daya Manusia, Teori, Aplikasi dan Penelitian, (Cet. I; Jakarta:
Alfabeta, 2008), h.62.
[2] Sondang P. Siagian, Organisasi Kepemimpinan dan
Perilaku Administrasi (Cet. XIV; Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), h. 150
[5] Soekidjo
Notoadmodjo dalam M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah (Cet. II;
Jakarta: Kencana, 2009),h.202-203
[7] Asep Muhiddin dan Agus Ahmad, Metode Pengembangan
Dakwah, (Cet.
l; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.137-138
[8] Selengkapnya,
lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia (Edisi I, Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 150-155.